HALUAN PUBLIK, Jakarta – Turut menghadiri giat Ngopi Bareng yang digelar Sekber Wartawan Indonesia (SWI), pada hari Jumat (20/1/2023) di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SWI, Jalan Raya Indramayu No.117 Menteng Jakarta Pusat, Khamsul Hasan sebagai ahli pers, memberikan pandanggannya terkait dunia pers baik itu permasalahan yang dihadapi wartawan di lapangan, kewajiban perusahaan pers, dan lain sebagainya.
Terkait Satu media, Satu badan hukum, Khamsul mengatakan bahwa mengacu ke Pasal 1 angka 2 Undang-Undang yang dimaksud adalah Perusahaan pers harus memiliki berbadan hukum khusus, tidak boleh menjadi pemborong, tidak boleh menjadi supplier, atau pekerjaan laiinnya. Jadi bila perusahaan pers memiliki media online dan cetak, maka badan hukumnya tetap satu.
“Dasar dari penjelasan Pasal 1 ini adalah Pasal 9 Undang – undang Pers ayat 1 dimana “Warga Negara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers” jadi siapapun warga negara memiliki hak untuk mendirikan prrusahahaan pers. Tetapi dibatasi oleh ayat 2, “Setiap Perusahaan Pers, harus berbentuk badan hukum Indonesia.” Jadi boleh-boleh saja satu badan hukum perusahaan pers memiliki beberapa media yang dibawah naungannya dan tidak ada batasan,” ungkap Khamsul.
Sebelumnya, CV masih boleh menjadi badan hukum pers. Hingga di tahun 2014, keluarlah SE 01 Tahun 2014 yang menyatakan badan hukum pers itu harus PT, Yayasan dan Koperasi Pers.
“Kecuali perusahaan media yang memiliki media radio yang berfrekuensi teristerial dan menggunakan frekuensi publik,” tambah Khamsul.
Ia juga mengatakan bahwa platform digital media seperti YouTube dan lain sebagainya, harus disertai dengan alamat redaksi yang jelas.
Peraturan yang mengatur tentang pers, ada yang bentuknya Undang-Undang, dan ada yang berbenuk peraturan Dewan Pers.
Mengacu pada undang-undang, produk pers dinyatakan dengan memenuhi syarat Pasal 1 ayat 1, Pasal 1 ayat 2, kemudian Pasal 9 ayat 2, dan Pasal 12.
Selain itu, ia juga menyoroti terkait kesalahpahaman tentang UKW, yang berkembang di kalangan wartawan dan di lingkungan lembaga pemerintahan.
Penegasan tersebut ia kemukakan, untuk menjawab sejumlah lembaga pemerintahan di berbagai wilayah tanah air, baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun ditingkat Provinsi, yang menerbitkan peraturan bahwa lembaga pemerintahan yang dimaksud, hanya menjalin kerjasama dengan wartawan yang sudah lulus UKW dan berasal dari media yang sudah tersertifikasi di Dewan Pers.
Persyaratan mengenai UKW, tidak termasuk dalam undang-undang.
“Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia. UKW bukanlah perintah dan atau amanat dari Undang-Undang Pokok Pers. UKW adalah Peraturan Dewan Pers.” terang Kamsul yang juga menjabat Bidang Kompetensi Wartawan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Dalam hal ini, UKW mengacu kepada Peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers No. 4 tahun 2017 tentang Sertifikasi Kompetensi Wartawan.
Saat ini, ada 30 lembaga yang telah mendapat lisensi dari Dewan Pers untuk melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di berbagai wilayah tanah air. Itu pun tidak semuanya aktif melaksanakan uji kompetensi wartawan. Padahal, menurut perkiraan Dewan Pers, jumlah media di Indonesia mencapai 47 ribu lebih, yang 43 ribu di antaranya adalah media online.
Jika rata-rata setiap media memiliki 5 wartawan, maka jumlah wartawan di Indonesia mencapai 235 ribu orang. Realitasnya, saat ini, total jumlah wartawan di seluruh Indonesia yang telah dinyatakan lulus UKW, baru sekitar 23.300 orang. Artinya, belum sampai 10 persen dari jumlah wartawan di Indonesia yang sudah lulus UKW.
Dengan kata lain, masih sangat banyak wartawan yang belum mengikuti dan belum lulus UKW, yang melaksanakan tugas-tugas jurnalistik di Indonesia. Sekali lagi, UKW bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia.
Pertanyaannya, lanjut Kamsul, apakah para wartawan yang sudah lulus UKW menjadi jaminan bagi kualitas produk jurnalistik yang mereka hasilkan?
Secara blak-blakkan, Kamsul Hasan yang dua periode menjadi Ketua PWI Jaya, 2004-2009 dan 2009-2014, menyatakan, lulus UKW bukan jaminan. “Masih banyak wartawan yang sudah lulus UKW, tapi kualitas produk jurnalistik mereka, rendah. Sebaliknya, cukup banyak wartawan yang belum ikut UKW, tapi produk jurnalistik mereka benar-benar berkualitas,” ungkap Kamsul Hasan, Sarjana Ilmu Jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Sarjana Hukum dan Magister Hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Iblam, Jakarta.
Kamsul Hasan menduga, kebijakan sejumlah lembaga pemerintah yang menolak bekerjasama dengan wartawan yang belum UKW, semata-mata hanya karena mereka ingin membatasi jumlah wartawan yang terlibat di kegiatan mereka.
“Dari pencermatan saya, para pimpinan lembaga pemerintah yang hendak memperpanjang periode jabatannya, umumnya tidak mempermasalahkan wartawan UKW atau non-UKW,” ujar Kamsul Hasan dengan senyum penuh makna.
Diskusi tentang pers dengan Kamsul Hasan pada Jumat (20/01/2023) tersebut, berlangsung penuh semangat. Ini memang bagian dari agenda Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekber Wartawan Indonesia (SWI), dalam konteks mengembangkan wawasan anggota SWI.
“Diskusi seperti ini akan dilakukan SWI secara reguler, dengan mengundang tokoh-tokoh pers ke Kantor DPP SWI. Bersamaan dengan itu, SWI terus berproses, agar dalam waktu dekat menjadi konstituen Dewan Pers,” ungkap Herry Budiman selaku Sekretaris Jenderal SWI.
Herry Budiman lebih lanjut menjelaskan, Kantor Sekretariat DPP SWI di Jalan Indramayu No.17, Menteng, Jakarta Pusat, cukup representatif sebagai tempat diskusi untuk meningkatkan kompetensi para wartawan yang sudah bergabung dengan SWI.
Pada Ngopi Bareng itu, selain diskusi tentang hukum pers dengan Kamsul Hasan, para peserta juga mendapatkan pengembangan wawasan tentang media online, yang disampaikan oleh Isson Khairul selaku Ketua Dewan Etik Sekber Wartawan Indonesia (SWI). (Ardhie)